Apakah benar Islam suka berperang?
Faktanya : banyak non muslim yang tidak paham konteks dari sejumlah ayat perang yang ada di dalam Al Quran. Dan agar tidak salah paham, mari kita simak satu persatu konteks dari sejumlah ayat tentang perang menurut Islam
1. Al Quran 2:191 – “Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai…”)
Konteks sebenarnya:
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan…” (QS. Al-Baqarah: 191)
Saya jawab:
Ayat ini sering disalahpahami dan dipotong konteksnya. Ayat ini turun dalam konteks perang defensif, bukan instruksi umum membunuh orang non-Muslim. Sebelumnya, kaum Muslimin dianiaya, diusir dari Makkah, hartanya dirampas, dan dilarang beribadah.
Jika kita baca QS. Al-Baqarah: 190, ayat sebelumnya berbunyi:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Ini menjelaskan bahwa peperangan hanya dilakukan terhadap mereka yang memerangi umat Islam lebih dahulu, bukan membunuh sembarangan.
Jadi ayat 191 bukanlah perintah membabi buta membunuh, tetapi izin untuk membela diri terhadap agresi, dengan tetap dilarang melampaui batas (seperti membunuh non-kombatan)
2. Al Quran 5:33 – “Bunuh yang memerangi Allah dan Rasul”)
Ayat lengkap:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.”
(QS. Al-Ma’idah: 33)
Saya jawab:
Ayat ini bukan perintah membunuh non-Muslim secara umum, melainkan adalah hukum bagi pelaku kejahatan luar biasa (hirabah), yaitu:
Menyerang negara, Membuat kerusakan besar, Membunuh dan merampok di jalan, Menteror masyarakat.
Dalam konteks turunnya ayat ini, para mufassir menyebutkan bahwa sekelompok orang dari kabilah ’Uraynah datang ke Madinah lalu membunuh penggembala dan mencuri unta Rasulullah ﷺ. Maka turunlah ayat ini sebagai hukuman tegas atas kejahatan berat.
Artinya, ayat ini adalah hukum pidana berat bagi penjahat kriminal dan teroris, bukan pembunuhan atas dasar agama.
3. Al Quran 9:5 – “Perangilah orang-orang musyrik di mana saja”)
Ayat lengkap:
“Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah mereka kebebasan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. At-Taubah: 5)
Saya jawab:
Ayat ini tidak bisa dipahami secara lepas dari konteks sejarah dan ayat-ayat sekitarnya. QS. At-Taubah adalah satu-satunya surat dalam Al-Qur’an yang tidak diawali dengan basmalah karena berbicara tentang perang terhadap kaum musyrikin Arab tertentu yang telah melanggar perjanjian damai secara berulang.
📌 Konteks sejarahnya:
Beberapa kabilah Arab membuat perjanjian damai dengan Rasulullah ﷺ, tapi kemudian berkhianat, membunuh orang Islam, dan bersekongkol dengan musuh. Maka Allah memberi ultimatum 4 bulan untuk mereka memperbaiki hubungan (lihat QS. 9:1-4). Jika setelah 4 bulan tetap melanggar, barulah ayat 5 berlaku khusus untuk mereka, bukan untuk semua non-Muslim.
Imam Al-Qurtubi menegaskan bahwa ayat ini bukan perintah umum, tapi khusus bagi musyrikin yang berkhianat dan menyerang lebih dulu.
Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa ayat ini turun dalam kondisi perang dan pengkhianatan, bukan untuk kehidupan damai.
QS. 9:6 bahkan menyatakan:
“Jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar dia sempat mendengar firman Allah, lalu antarkan dia ke tempat yang aman baginya…”
Artinya, Islam tetap membuka pintu perlindungan dan keselamatan bagi non-Muslim, bahkan saat perang.
4. Al Quran 9:14 – “Perangilah mereka, niscaya…”)
Ayat lengkap:
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan menghinakan mereka, dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.”
(QS. At-Taubah: 14)
Saya jawab:
Ayat ini masih merupakan bagian dari rangkaian konteks perang yang adil (perang defensif) melawan kaum musyrikin Arab yang telah melanggar perjanjian damai.
Penjelasan konteks:
Ayat ini bukan seruan untuk memerangi semua non-Muslim, tetapi khusus terhadap musuh yang menyerang, berkhianat, dan menyiksa kaum Muslimin.
Dalam ayat-ayat sebelumnya (QS 9:1–13), Allah menjelaskan bahwa:
Musuh-musuh tersebut melanggar perjanjian, Melakukan agresi militer dan penindasan, Mempersulit dakwah dan menyiksa umat Islam.
Makna “menyiksa dengan tangan-tanganmu” adalah bentuk perlawanan dari kaum Muslimin sebagai alat pelaksanaan keadilan dari Allah, karena mereka telah dizalimi.
Tujuan disebutkan dalam ayat: “melegakan hati orang-orang beriman”, artinya untuk menghilangkan penderitaan, trauma, dan luka akibat penindasan yang mereka alami.
Tafsir Al-Jalalayn:
“Perangilah mereka karena pengkhianatan dan agresi mereka, agar Allah menghinakan dan menimpakan hukuman atas mereka, sebagai balasan atas kejahatan mereka.”
💡 Jadi, ayat ini adalah bentuk pembelaan terhadap umat yang tertindas, bukan dorongan membabi buta memerangi siapapun tanpa alasan.
5. Al Quran 9:29 – “Perangilah orang-orang kafir dan orang munafik”)
Ayat lengkap:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar (yaitu orang-orang) yang diberi Al-Kitab, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
(QS. At-Taubah: 29)
Saya jawab:
Ayat ini sering digunakan secara potong-potong dan keluar dari konteksnya, padahal QS. At-Taubah:29 diturunkan dalam konteks perang pertahanan negara Islam terhadap agresi militer dari Bizantium (Romawi Timur).
Konteks sejarah:
Kaisar Bizantium menghasut dan mempersiapkan pasukan besar untuk menyerang negara Islam di Madinah. Rasulullah ﷺ lalu mengerahkan pasukan ke Tabuk, bukan untuk menyerang, tapi untuk mengantisipasi serangan. Ayat ini adalah izin untuk memerangi mereka dalam konteks perang antar-negara, bukan perintah untuk membunuh orang Yahudi/Nasrani secara umum.
Tentang Jizyah:
Jizyah adalah pajak pengganti wajib militer, yang dibayar oleh non-Muslim yang tinggal damai di negara Islam. Sebaliknya, Muslim membayar zakat dan wajib berperang. Non-Muslim dibebaskan dari kewajiban militer, dan negara Islam wajib melindungi mereka.
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa:
Ayat ini bukan dalih memerangi semua ahli kitab, tapi hanya mereka yang melakukan permusuhan dan tidak tunduk pada hukum damai.
Bukti Islam tidak memerangi semua ahli kitab:
Rasulullah ﷺ berdamai dan melindungi Yahudi Bani ’Auf dan Nasrani Najran selama mereka tidak mengkhianati perjanjian.
💡 Maka ayat ini adalah aturan geopolitik masa perang terhadap negara agresor, bukan ayat kebencian terhadap agama lain.
6. Al Quran 9:73 – “Perangilah orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keras terhadap mereka…”)
Ayat lengkap:
“Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
(QS. At-Taubah: 73)
Saya jawab:
Ayat ini sering disalahartikan seolah-olah Islam memerintahkan untuk memerangi semua orang kafir dan munafik secara fisik. Padahal, dalam ilmu tafsir, kata “perangi” (jāhid) di sini tidak selalu berarti perang fisik, tapi juga perjuangan dakwah, argumentasi, dan tindakan hukum jika membahayakan negara Islam.
Makna “perangi orang kafir dan munafik”:
Orang kafir dalam konteks ini adalah mereka yang mengangkat senjata dan memusuhi Islam. Orang munafik adalah yang berpura-pura masuk Islam tapi melakukan sabotase, pengkhianatan, dan propaganda berbahaya dari dalam.
Dalam tafsir Ibn Katsir, beliau menjelaskan:
“Perintah ini turun karena para munafik di Madinah bersekongkol dengan kaum kafir Mekah dan menjadi ancaman dalam negeri, sehingga Allah memerintahkan Rasul untuk bersikap tegas terhadap mereka.”
Dalam tafsir Al-Jalalayn, dijelaskan bahwa makna “jahid” (perangilah) meliputi jihad dengan lisan, hujjah, serta penegakan hukum. Tidak selalu berarti jihad perang.
💡 Ayat ini bukan justifikasi kekerasan sembarangan, tapi perintah ketegasan dalam menjaga stabilitas umat dan negara dari musuh luar dan pengkhianat dalam negeri.
Rasulullah ﷺ sendiri tidak pernah membunuh kaum munafik di Madinah secara fisik, tapi menghadapinya dengan hikmah dan diplomasi, seperti dalam kasus Abdullah bin Ubay.
7. Al Quran 8:12 – “Penggal leher mereka dan potong jari-jari mereka…”)
Ayat lengkap:
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.’ Akan Aku jatuhkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan potonglah tiap-tiap ujung jari mereka.”
(QS. Al-Anfal: 12)
Saya jawab:
Ayat ini adalah bagian dari kisah Perang Badar, yakni perang pertama antara kaum Muslimin yang tertindas dan terusir dari Makkah melawan kaum musyrikin Quraisy yang menyerang.
📌 Konteksnya adalah situasi perang yang sedang berlangsung, bukan ajaran untuk membunuh orang kafir kapan saja.
Tafsir Al-Jalalayn menjelaskan:
“Ayat ini merupakan perintah Allah kepada para malaikat untuk menolong kaum Muslimin dengan cara menciptakan ketakutan dalam hati musuh, agar pasukan kafir Quraisy gentar dan mengalami kekalahan.”
📌 Kata-kata seperti “penggal leher” dan “potong jari-jari” adalah ekspresi militer yang menggambarkan pertempuran sengit di medan perang, bukan perintah untuk membunuh warga sipil atau menyerang non-Muslim di luar konteks perang.
Bahkan dalam perang, Islam melarang membunuh anak-anak, wanita, orang tua, rahib, petani, dan mereka yang tidak ikut berperang, sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadits.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Janganlah kamu membunuh wanita, anak-anak, orang tua, dan orang yang tidak ikut memerangi kamu.”
(HR. Abu Dawud, no. 2614)
💡 Jadi, QS. 8:12 adalah bagian dari narasi perang defensif Badar yang diabadikan dalam Al-Qur’an, bukan ajaran kekerasan terhadap orang kafir secara umum.
8. Al Quran 8:39 – “Perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah…”)
Ayat lengkap:
“Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada lagi fitnah, dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran dan permusuhan), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.”
(QS. Al-Anfal: 39)
Saya jawab:
Ayat ini sering disalahartikan seolah-olah Islam memerintahkan untuk terus memerangi orang kafir sampai semua masuk Islam. Padahal, kata “fitnah” dalam konteks ini berarti penindasan, penganiayaan, dan penghalangan terhadap kebebasan beragama.
Konteks turunnya ayat ini:
Kaum Muslimin disiksa, dianiaya, bahkan dibunuh karena keyakinan mereka di Makkah. Mereka diusir dan hartanya dirampas. Kata “fitnah” di sini berarti penindasan terhadap umat Islam dan pemaksaan keluar dari iman, bukan hanya “kemusyrikan” biasa.
Tafsir Ibn Katsir menjelaskan:
“Fitnah yang dimaksud adalah kemusyrikan, penindasan, dan kezaliman yang dilakukan terhadap orang-orang beriman. Maka, perang ini bertujuan untuk menghentikan kekejaman itu.”
Juga ditegaskan dalam bagian akhir ayat:
“Jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.”
Artinya: Jika musuh berhenti memerangi, maka umat Islam juga wajib berhenti berperang.
💡 Jadi, ayat ini menegaskan prinsip jihad defensif, yaitu untuk menghentikan kezaliman dan menjamin kebebasan beragama, bukan memaksakan Islam secara paksa.
Dalam QS. Al-Baqarah: 256 bahkan ditegaskan:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…”
9. Al Quran 8:60 – “Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja…”)
Ayat lengkap:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi.”
(QS. Al-Anfal: 60)
Saya jawab:
Ayat ini bukan perintah untuk menyerang terlebih dahulu, tapi perintah untuk berjaga-jaga dan mempersiapkan pertahanan yang kuat demi menjaga kedaulatan umat Islam dari ancaman.
Konteks ayat:
Setelah terjadi perang besar seperti Badar dan Uhud, umat Islam yang masih lemah secara militer diperintahkan untuk memperkuat pertahanan, agar tidak diremehkan dan ditindas kembali oleh musuh-musuhnya. Ayat ini berbicara tentang strategi pertahanan negara, bukan agresi.
Tafsir Al-Jalalayn:
“Siapkan kekuatan seperti persenjataan, latihan, dan kesiapan logistik agar bisa menakut-nakuti musuh yang berniat jahat, bukan menyerang sembarangan.”
“Menggentarkan musuh” dalam ayat ini bertujuan untuk mencegah perang, bukan untuk memulai perang. Ini dikenal dalam strategi modern sebagai deterrent (daya gentar).
💡 Ayat ini sejalan dengan prinsip Islam:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya…”
(QS. Al-Anfal: 61)
Artinya, Islam lebih memilih jalan damai, dan hanya mengizinkan perang jika sangat diperlukan untuk membela diri, mencegah kezaliman, atau mempertahankan hak.
10. Al Quran 8:65 – “Wahai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang…”)
Ayat lengkap:
“Wahai Nabi! Kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh, dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, disebabkan mereka (orang-orang kafir itu) adalah kaum yang tidak mengerti.”
(QS. Al-Anfal: 65)
Saya jawab:
Ayat ini merupakan semangat motivasi dalam konteks peperangan yang sedang berlangsung, bukan perintah umum untuk membunuh orang kafir kapan dan di mana saja.
Kapan ayat ini turun?
Ayat ini diturunkan ketika terjadi Perang Badar, yaitu perang defensif pertama kaum Muslimin menghadapi agresi kaum musyrikin Quraisy. Kaum Muslimin saat itu hanya berjumlah 313 orang, melawan 1000 pasukan musuh.
Pesan utama ayat:
Allah menanamkan semangat bahwa jumlah bukan penentu kemenangan, tapi keteguhan iman, kesabaran, dan semangat juang adalah kunci.
Tafsir Ibn Katsir:
“Ayat ini memberikan motivasi kepada pasukan Muslim agar tidak gentar meski kalah jumlah, karena musuh yang menyerang adalah orang-orang yang tidak memahami nilai akhirat.”
Penting juga memahami bahwa dalam ayat berikutnya (QS 8:66), Allah meringankan ketentuan ini:
“Sekarang Allah telah meringankan kalian, karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan pada kalian…”
Artinya, hukum ini dinamis dan bersifat situasional, bukan doktrin kekerasan abadi.
💡 Kesimpulannya:
Ayat ini adalah strategi motivasi perang untuk kondisi darurat mempertahankan diri, bukan perintah kekerasan terhadap non-Muslim secara umum.
11. Al Quran 47:4 – “Apabila kamu bertemu orang-orang kafir (di medan perang), penggallah leher mereka…”)
Ayat lengkap:
“Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka penggallah leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai. Demikianlah. Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia dapat membinasakan mereka, tetapi Dia hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.”
(QS. Muhammad: 4)
Saya jawab:
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa konteksnya adalah “apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir di medan perang”, bukan dalam kehidupan damai atau dalam hubungan antarumat beragama sehari-hari.
Makna ayat:
Ini adalah aturan perang dalam Islam, khusus untuk situasi konfrontasi militer di medan perang. Penggal leher adalah bahasa militer zaman dahulu yang menunjukkan kemenangan total atas pasukan musuh yang menyerang.
Tafsir Ibn Katsir:
“Ini adalah perintah kepada kaum Muslimin ketika menghadapi musuh dalam medan perang, untuk menghadapi mereka dengan serius dan tegas, sampai mereka takluk, lalu ditentukan: apakah dibebaskan, atau ditebus, atau tetap ditawan.”
Yang menarik, ayat ini tidak menyuruh membunuh semua tawanan, justru memberi opsi:
Dibebaskan tanpa tebusan, Dibebaskan dengan tebusan (diplomasi), Atau ditahan sampai perang selesai.
Rasulullah ﷺ sendiri mencontohkan dalam banyak peperangan, bahwa para tawanan perang diperlakukan dengan manusiawi, bahkan ada yang dibebaskan hanya dengan mengajarkan membaca kepada Muslimin.
Maka ayat ini:
Tidak berlaku untuk semua orang kafir, Hanya berlaku dalam perang yang sah (perang defensif atau melawan agresor), Dan mengajarkan aturan etis bahkan terhadap tawanan.
Dengan ini seluruh 11 ayat yang dituduhkan telah dijawab satu per satu berdasarkan konteks Al-Qur’an dan sejarahnya.
12. Al Quran 9:123 – “Perangilah orang-orang kafir yang di sekitarmu…”)
Ayat lengkap:
“Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu dan hendaklah mereka menemui kekerasan darimu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”
(QS. At-Taubah: 123)
Saya jawab:
Ayat ini sering dijadikan dalih untuk menyatakan bahwa Islam mengajarkan kekerasan terhadap semua orang kafir, padahal ayat ini turun dalam konteks kondisi darurat dan pengepungan dari musuh-musuh eksternal.
Konteks sejarahnya:
Setelah perjanjian Hudaibiyah dikhianati oleh kaum musyrikin, dan beberapa suku Arab di sekitar Madinah mulai membentuk aliansi memusuhi Islam, maka turunlah ayat ini sebagai instruksi siaga terhadap musuh-musuh eksternal.
Tafsir Ibn Katsir:
“Yang dimaksud dengan ‘orang kafir yang di sekitar kamu’ adalah mereka yang berada paling dekat dan paling mengancam. Bukan semua orang kafir, melainkan musuh yang nyata.”
Ayat ini tidak berdiri sendiri. Dalam ayat-ayat sebelumnya dalam surat At-Taubah, telah dijelaskan berulang bahwa perang hanya dilakukan terhadap mereka yang memulai permusuhan atau melanggar perjanjian.
Jadi, QS 9:123:
Adalah strategi keamanan wilayah, bukan doktrin kekerasan. Ditujukan untuk musuh aktif dan berbahaya, bukan warga sipil atau non-Muslim damai.
13. Al Quran 47:35 – “Jangan lemah dan minta damai padahal kamu lebih unggul…”)
Ayat lengkap:
“Janganlah kamu lemah dan menyeru (mereka) kepada perdamaian, padahal kamulah yang lebih unggul. Dan Allah beserta kamu, dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu.”
(QS. Muhammad: 35)
Saya jawab:
Ayat ini sering disalahpahami seolah-olah Islam melarang perdamaian. Padahal, jika dibaca dalam konteksnya, ayat ini hanya berlaku dalam kondisi peperangan yang sedang berlangsung, dan ditujukan kepada kaum Muslimin yang sudah berada dalam posisi kuat saat melawan musuh yang zalim.
Makna sebenarnya:
Ayat ini adalah seruan agar tidak mudah menyerah ketika posisi militer umat Islam sudah lebih kuat, bukan larangan berdamai secara mutlak. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kesepakatan damai yang merugikan jika dilakukan dalam posisi lemah.
Tafsir Al-Jalalayn:
“Janganlah kamu merasa lemah dan memohon damai dengan musuh yang masih memerangi kalian, sementara kalian lebih unggul secara kekuatan dan strategi.”
Konteks lain dari Al-Qur’an justru mendorong perdamaian, contohnya dalam:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah engkau kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah…”
(QS. Al-Anfal: 61)
Maka, QS 47:35 tidak bertentangan dengan nilai damai dalam Islam, tapi merupakan arahan taktis dalam peperangan agar tidak cepat menyerah dalam kondisi unggul.
Ini sejalan dengan prinsip Islam: “Damai lebih utama jika memungkinkan, namun jangan tunduk jika akan dikhianati.”
14. Al Quran 4:89 – “Bunuhlah mereka di mana saja kamu temui…”)
Ayat lengkap:
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka teman-teman setia, sebelum mereka berhijrah di jalan Allah. Maka jika mereka berpaling (tidak mau berhijrah), maka tangkaplah mereka dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka, dan janganlah kamu jadikan seorang pun dari mereka sebagai pelindung atau penolong.”
(QS. An-Nisa: 89)
Saya jawab:
Ayat ini bukan seruan membunuh semua orang kafir, tapi berhubungan dengan pengkhianat perang yang berpura-pura masuk Islam dan berusaha menghancurkan kaum Muslimin dari dalam.
Konteks ayat:
Ayat ini turun mengenai orang-orang munafik dan murtad dari Madinah yang berpura-pura Muslim, tapi berkhianat dan membocorkan rahasia kepada musuh. Mereka mengajak kaum Muslimin kembali kafir dan bekerja sama dengan pasukan Quraisy yang sedang memerangi Madinah.
Tafsir Ibn Katsir:
“Mereka bukan sekadar kafir, tetapi pengkhianat yang membahayakan negara Islam. Maka perintah ini adalah tindakan militer terhadap pengkhianat bersenjata.”
Lanjutannya (ayat 90) memberikan pengecualian penting:
“Kecuali orang-orang yang berlindung kepada kaum yang terikat perjanjian dengan kamu, atau yang datang kepadamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu…”
Artinya: Mereka yang tidak memusuhi Islam dan tidak terlibat dalam permusuhan, tidak boleh diserang.
Bahkan QS. Al-Mumtahanah: 8-9 menjelaskan bahwa:
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama…”
Jadi, QS 4:89 adalah perintah untuk menangani pengkhianatan bersenjata dalam situasi perang, bukan ajaran untuk membunuh non-Muslim secara umum.
15. Al Quran 66:9 – “Perangilah orang-orang kafir dan munafik…”)
Ayat lengkap:
“Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
(QS. At-Tahrim: 9)
Saya jawab:
Ayat ini mirip dengan QS 9:73, dan sekali lagi perlu dipahami dengan cermat berdasarkan konteksnya. Kata “jihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik” tidak selalu berarti perang fisik.
Makna “jihad” dalam konteks ini:
Untuk kafir yang memerangi, jihad bisa berarti dengan senjata dalam konteks perang. Untuk munafik, jihad dilakukan dengan hujjah (argumen), nasihat, pencegahan, dan penegakan hukum.
Tafsir Al-Qurthubi:
“Perangilah orang-orang kafir dengan senjata, dan orang-orang munafik dengan lisan dan hati. Karena kaum munafik tidak ditampakkan kekufurannya, maka tidak diperangi secara fisik.”
Tafsir At-Thabari juga menyebut:
“Jihad terhadap orang kafir dilakukan sesuai kondisi mereka: jika mereka menyerang, maka dengan pedang. Jika mereka belum menyerang, maka dengan lisan dan dakwah.”
Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah membunuh satu pun orang munafik di Madinah, meskipun beliau mengetahui siapa mereka. Beliau mencontohkan bahwa jihad terhadap orang munafik dilakukan dengan hikmah dan kesabaran, bukan kekerasan.
Jadi, QS 66:9 bukan perintah umum untuk kekerasan, tapi perintah:
Menegakkan kebenaran terhadap orang kafir yang memerangi, Menghadapi pengkhianatan dari kaum munafik dengan ketegasan moral dan hukum, Bukan perintah pembantaian atau kekerasan membabi buta.
16. Al Quran 23:1–6 – “…kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki…”)
Ayat lengkap (QS Al-Mu’minun 23:1–6):
1. Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,
2. (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya,
3. dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna,
4. dan orang yang menunaikan zakat,
5. dan orang yang memelihara kemaluannya,
6. kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
Saya jawab:
Ayat ini sering disalahpahami seolah-olah Islam membolehkan pemerkosaan terhadap budak, padahal itu adalah distorsi serius terhadap makna dan hukum syariat Islam.
Penjelasan penting:
Ayat ini menjelaskan standar moral bagi kaum Muslimin untuk menjaga kehormatan dan menyalurkan syahwat dengan cara yang halal, yaitu: Dengan istri (melalui pernikahan), Dengan budak wanita yang dimiliki secara sah (pada zaman perbudakan masih berlaku secara global).
Tafsir Ibn Katsir:
“Yang dimaksud adalah hubungan halal yang telah diatur oleh syariat, tidak boleh dengan cara pemaksaan, penyiksaan, atau pemerkosaan.”
Islam menghapuskan sistem perbudakan secara bertahap, melalui:
Perintah membebaskan budak sebagai kafarat (tebusan dosa), Perintah memperlakukan budak dengan kasih sayang, seperti keluarga sendiri, Dorongan pembebasan budak sebagai amalan mulia (QS 90:13).
Budak wanita hanya boleh digauli jika:
Dia rela, tidak dipaksa, Dinafkahi dan diperlakukan manusiawi, Dilarang digauli jika sedang menikah dengan orang lain (lihat QS 4:24), Anak dari budak yang melahirkan anak otomatis menjadi merdeka, dan ibunya menjadi ummu walad (tidak boleh diperjualbelikan lagi).
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Siapa yang menampar budaknya atau memukulnya, maka hendaklah ia menebus dengan membebaskannya.”
(HR. Muslim)
💡 Maka QS 23:1–6 tidak membolehkan pemerkosaan atau kekerasan terhadap budak, melainkan menjelaskan batasan hubungan yang diizinkan pada zaman di mana perbudakan masih legal secara internasional. Dan Islam justru hadir untuk menghapusnya secara bertahap.
17. Al Quran 4:24 – “Dan (diharamkan juga) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki…”)
Potongan ayat terkait:
“…dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. Itulah ketetapan Allah bagimu…”
(QS. An-Nisa: 24)
Saya jawab:
Ayat ini sering dituduh sebagai legalisasi pemerkosaan budak perang, padahal jika dikaji secara menyeluruh dan dengan tafsir ulama, ayat ini mengatur kondisi khusus tawanan perang wanita yang sebelumnya menjadi isteri dari tentara musuh, dan telah terputus hubungan pernikahannya secara syar’i karena berada dalam kekuasaan negara Muslim.
Penjelasan konteks:
Ayat ini diturunkan setelah perang, ketika beberapa wanita tawanan dari pihak musuh dibawa ke wilayah kaum Muslimin. Wanita yang menjadi tawanan dan masuk ke dalam sistem perbudakan secara otomatis tidak lagi terikat pernikahan sebelumnya, karena: Pernikahan dalam sistem non-Islam (yang saat itu memusuhi Islam) dianggap batal dalam konteks perang, Sama halnya jika seorang wanita non-Muslim masuk Islam: pernikahannya sebelumnya bisa tidak sah jika suaminya tetap kafir dan memusuhi Islam.
Tafsir Ibn Katsir menjelaskan:
“Perempuan yang menjadi tawanan perang dan berstatus budak, maka hubungan pernikahannya dengan suami sebelumnya telah terputus, sehingga boleh dinikahi atau digauli setelah melalui masa istibra’ (penantian untuk memastikan tidak hamil).”
Syarat mutlak dalam syariat:
Harus menunggu satu kali haid (istibra’), tidak boleh langsung digauli, Tidak boleh dipaksa, Tidak boleh digauli jika masih menjadi istri sah dalam sistem hukum Islam.
Nabi ﷺ dan para sahabat melarang hubungan tanpa etika dengan budak. Islam justru mendorong pembebasan budak dan menjadikan mereka setara.
Jadi QS 4:24 bukan membenarkan pemerkosaan budak, tapi mengatur aturan peralihan status nikah wanita tawanan perang, dengan syarat ketat dan penuh etika, serta berlaku dalam konteks dunia yang masih mengenal sistem perbudakan internasional (yang kini sudah tidak ada).
18. Al Quran 33:50 – “Kami halalkan bagimu… perempuan yang engkau miliki dari tawanan perang…”)
Potongan ayat terkait:
“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau beri mahar, dan budak perempuan yang engkau miliki dari apa yang Allah berikan kepadamu sebagai rampasan perang…”
(QS. Al-Ahzab: 50)
Saya jawab:
Ayat ini bukan legalisasi eksploitasi seksual, tapi merupakan pengecualian khusus untuk Nabi Muhammad ﷺ atas ketentuan umum nikah dan hak milik di masa itu, dalam rangka mengatur rumah tangga Nabi secara syariat dan menjaga kehormatan beliau sebagai kepala negara dan panutan umat.
Konsep “budak perempuan dari tawanan perang”:
Adalah sistem sosial global pada masa itu, di mana rampasan perang legal (juga berlaku di Romawi, Persia, dll), Namun Islam membatasi, mengatur, dan mulai menghapus sistem perbudakan secara bertahap.
Dalam konteks Rasulullah ﷺ:
Beliau tidak pernah mengambil budak wanita secara sembarangan, Contoh: Mariyah al-Qibthiyyah — beliau tidak memperlakukannya sebagai budak biasa, melainkan dimuliakan seperti istri (meski tidak secara formal disebut istri).
Tafsir Ibn Katsir:
“Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberi keringanan dan kemuliaan bagi Nabi dalam urusan rumah tangganya, bukan dalam rangka syahwat, tapi sebagai bentuk pengaturan sosial dan spiritual umat.”
Dalam bagian akhir QS 33:50 Allah menegaskan:
“Agar tidak menjadi kesempitan bagimu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Maka, ayat ini:
Tidak membenarkan pemaksaan, tapi mengatur hubungan halal dalam konteks perbudakan yang masih berlaku saat itu, Menunjukkan syariat transisi yang menuju penghapusan budak, Khusus untuk Nabi ﷺ sebagai teladan, bukan pembenaran untuk umum.
19. Al Quran 70:29–30 – “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya… kecuali terhadap istri dan budak mereka…”)
Ayat lengkap:
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau terhadap hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela.”
(QS. Al-Ma’arij: 29–30)
Saya jawab:
Ayat ini serupa dengan QS 23:5–6, yang menjelaskan batasan hubungan seksual yang sah dalam syariat Islam pada zaman di mana sistem perbudakan masih diakui secara global.
Maknanya:
Islam melarang hubungan seksual sembarangan (zina), Dan hanya membolehkan hubungan melalui dua jalur yang diatur dengan hukum dan tanggung jawab, yaitu: Istri melalui akad nikah, Budak wanita yang sah dimiliki, yang dilindungi dan dinafkahi.
Tafsir Al-Jalalayn:
“Tidak ada dosa dalam berhubungan dengan istri atau hamba sahaya yang dimiliki, selama dilakukan dengan tanggung jawab dan sesuai aturan syariat.”
Tapi Islam bukan mendukung perbudakan, melainkan menghapusnya secara bertahap dengan:
Mewajibkan membebaskan budak sebagai tebusan dosa, Memberi pahala besar kepada orang yang memerdekakan budak, Menjadikan anak dari budak otomatis merdeka, dan ibunya tidak boleh dijual lagi (ummu walad).
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Saudara-saudaramu (para budak) adalah tanggungan kalian. Berilah mereka makan seperti yang kalian makan. Jangan memberatkan mereka, dan siapa yang membebaskan budaknya, maka Allah akan membebaskannya dari neraka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka ayat ini:
Menjelaskan batasan hubungan yang halal pada masa itu, bukan pembolehan pemerkosaan, Bukan justifikasi eksploitasi, tapi bagian dari transisi menuju penghapusan perbudakan, Dan kini sudah tidak berlaku, karena sistem budak telah ditutup total dalam Islam seiring hilangnya perbudakan global.