“Aku bersaksi” : Apakah artinya harus melihat?

3duniaindigo.com

“Syahadat Bukan ‘Saksi Mata’: Iman, Bukti, dan Etika Kejujuran dalam Islam”

Saya jawab:

1) “Bersaksi tanpa melihat” = saksi dusta? Ini adalah pemahaman yang keliru terhadap makna syahadat

Kata syahadat (أشهد) dalam bahasa Arab berarti menyatakan/menegaskan/bersaksi berdasarkan pengetahuan dan keyakinan—bukan harus “melihat dengan mata”. Para ahli bahasa menafsirkan ashhadu sebagai aʿlamu wa uqirr (aku mengetahui dan mengakui).

Al-Qur’an memakai kata “syahadah” untuk pengakuan iman dan pernyataan kebenaran, bukan klaim melihat Allah:

QS 3:18 – “Allah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Dia, demikian pula para malaikat dan orang-orang berilmu…”

QS 63:1 – Orang munafik berkata, “Kami bersaksi engkau Rasul Allah.” (Ini pernyataan, bukan kesaksian karena “melihat” hakikat kenabian.)

QS 3:64 – “…Maka katakanlah: saksikanlah (isya-hadu) bahwa kami adalah orang-orang Muslim.” Iman dalam Islam memang mencakup yang gaib:

QS 2:3 – “(Orang bertakwa adalah) yang beriman kepada yang gaib.”

QS 6:103 – “Penglihatan tidak dapat mencapai-Nya.” QS 7:143 – Musa dimaklumkan bahwa melihat Allah di dunia ini tidak mungkin.

QS 75:22–23 – Di akhirat wajah-wajah orang beriman berseri memandang Tuhannya (ru’yah di akhirat menurut Ahlus-Sunnah).

Karena itu kalimat Syahadat adalah deklarasi kebenaran tauhid berdasarkan ilmu, dalil, dan petunjuk—notarisasi iman—bukan kesaksian penglihatan fisik.

Analogi sederhana: seorang ilmuwan “bersaksi” di jurnal bahwa air mendidih pada 100°C pada 1 atm; ia tidak perlu “melihat” tiap molekul setiap saat—ini pernyataan ilmiah berdasar pengetahuan dan bukti.

Tambahan PB (pendukung konsep iman tanpa melihat):

Ibrani 11:1 – “Iman adalah bukti dari perkara-perkara yang tidak kelihatan.”

Yohanes 20:29 – “Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya.” 1

Petrus 1:8 – “Sekalipun kamu tidak melihat Dia, kamu mengasihi Dia dan percaya.”

Jadi, menyamakan syahadat dengan “saksi dusta” adalah kesalahan istilah.

2) “Nabi Muhammad membolehkan dusta dalam tiga hal”? Itu bukan izin berdusta bebas

Yang sering dikutip adalah hadis Ummu Kultsum binti ‘Uqbah (Sahih Muslim):

“Aku tidak mendengar Nabi memberi kelonggaran bicara tidak apa-apa (tidak dihitung dusta) kecuali pada tiga: (1) ketika perang, (2) untuk mendamaikan manusia, (3) seorang suami kepada istri dan istri kepada suami (untuk menjaga keharmonisan).”

Penjelasan ulama: Maksudnya bukan melegalkan sumpah palsu/penipuan merampas hak.

Yang dibolehkan adalah:

-Strategi perang (menyembunyikan rencana demi nyawa & keselamatan—setiap sistem etika mengakui taktik militer).

-Islah: meredam konflik dengan pilihan kata yang menyejukkan—bukan memfitnah.

-Ungkapan kasih suami-istri (“kamu yang tercantik”, dsb.)—bukan menipu soal harta/kejujuran prinsipil.

Hukum umum Islam sangat keras melarang dusta:

QS 4:135 – “Tegakkan keadilan sebagai saksi karena Allah, meski terhadap diri sendiri/kerabat.”

QS 5:8 – “…Janganlah kebencian mendorong kamu berlaku tidak adil.”

QS 22:30 – “Jauhilah ucapan dusta.”

QS 25:72 – “(Hamba Ar-Rahman) tidak menjadi saksi palsu (lā yashhadūna az-zūr).”

QS 24:4 – Hukuman berat bagi tuduhan palsu.

QS 17:36 – “Jangan ikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu tentangnya.” Hadits Muttafaq ‘Alaih: Nabi menyebut kesaksian palsu termasuk dosa besar.

Catatan PL/PB (mengenai “pengecualian etis” untuk menyelamatkan nyawa/rekonsiliasi):

Yosua 2:4–6; Ibrani 11:31; Yakobus 2:25 – Rahab menyesatkan prajurit demi menyelamatkan nyawa para utusan Israel dan dipuji karena imannya. Ini menunjukkan bahwa etika wahyu juga mengenal prioritas moral: menyelamatkan jiwa & perdamaian.

3) Dalil tegas tentang tauhid (inti Syahadat) dalam Al-Qur’an dan Sunnah

QS 20:14 – “Sungguh Aku adalah Allah; tiada ilah selain Aku.”

QS 2:163; 16:22; 23:116; 59:22–24; surat Al-Ikhlash (112) – Penegasan keesaan dan kesucian Allah.

QS 12:108 – “Katakan: Inilah jalanku; aku dan pengikutku mengajak kepada Allah di atas basirah (bukti/ilmu yang jelas).”

Hadits: “Barangsiapa mengucap Lā ilāha illallāh dengan ikhlas, ia masuk surga.” (Sahih Bukhari & Muslim) — ini bukan izin kosong, melainkan syarat iman yang benar dan amanah amal.

4) jadi?

Syahadat adalah deklarasi keyakinan berdasarkan ilmu/dalil, bukan klaim pernah melihat Allah.

Islam melarang keras dusta dan kesaksian palsu; riwayat “tiga kondisi” adalah rukhsah terbatas untuk perdamaian, strategi perang, dan keharmonisan rumah tangga, bukan legalisasi kebohongan yang merampas hak atau menipu publik.

Prinsip iman tanpa melihat justru dihormati juga dalam PB (Yoh 20:29; Ibr 11:1).

Scroll to Top