Saya jawab :
- Tuduhan Perselingkuhan Aisyah dengan Shafwan bin Mu’attal
Bantahan:
Tuduhan ini fitnah yang disebut langsung oleh Allah SWT sebagai “ifk” (kebohongan besar). Allah telah membersihkan Aisyah dari segala tuduhan itu dalam Surah An-Nur:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyebaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.”
(QS An-Nur: 11)
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji… mereka (para wanita yang dituduh) bersih dari apa yang dituduhkan kepada mereka; bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.”
(QS An-Nur: 26)
Hadits Pendukung:
Dalam Shahih Bukhari, Aisyah berkata:
“Demi Allah, aku tahu bahwa aku tak berdosa, dan Allah akan membela kehormatanku. Tapi, demi Allah, aku tidak menyangka bahwa Allah akan menurunkan wahyu yang dibaca (Al-Qur’an) untuk membersihkanku…”
(HR. Bukhari no. 4141)
Kesimpulan: Tuduhan terhadap Aisyah adalah dusta besar, dan siapa pun yang menyebarkannya akan mendapat azab berat menurut Al-Qur’an.
- Klaim bahwa Ali bin Abi Thalib menyuruh Nabi menceraikan atau membunuh Aisyah
Fakta yang Benar:
Ali bin Abi Thalib tidak pernah menyuruh membunuh Aisyah. Dalam peristiwa ifk, ia hanya menyarankan Rasulullah untuk tidak terlalu memikirkannya karena banyak wanita lain. Ini bukan permusuhan, melainkan ijtihad dalam situasi sulit.
“Ya Rasulullah, wanita selain dia banyak. Jika engkau bertanya kepada pelayan wanita (Barirah), ia akan memberitahumu yang sebenarnya.”
(HR. Bukhari no. 4141)
Setelah itu, Barirah pun membela Aisyah dan mengatakan:
“Demi Allah, aku tidak pernah melihat pada dirinya kecuali kebaikan.”
Kesimpulan: Ali tidak pernah menyarankan penceraian apalagi pembunuhan. Tuduhan seperti ini adalah pemutarbalikan fakta sejarah.
- Klaim bahwa wahyu turun hanya untuk “membela” Aisyah karena motif pribadi
Bantahan:
Tuduhan ini mencerminkan ketidaktahuan terhadap prinsip turunnya wahyu dalam Islam. Al-Qur’an turun bukan karena “keinginan pribadi” Nabi, tetapi murni atas perintah Allah.
“Dan dia (Muhammad) tidaklah berbicara dari hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.”
(QS An-Najm: 3-4)
Bukti Historis:
Jika Rasulullah ingin membela diri dengan wahyu, maka beliau tentu tidak akan membiarkan dirinya dicela, dihina, bahkan diancam oleh kaum kafir berulang-ulang tanpa membalas dengan wahyu “membela diri”. Banyak ayat turun untuk menegur Rasulullah, bukan hanya membela.
Contoh:
“Dia (Nabi) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.”
(QS Abasa: 1-2)
Kesimpulan: Wahyu tidak digunakan Nabi untuk kepentingan pribadi. Justru wahyu turun sering kali berisi teguran keras kepada beliau. Maka, tuduhan ini batil.
- Pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah di Usia Muda
Bantahan:
Pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah adalah berdasarkan perintah wahyu, dan sesuai norma sosial budaya Arab kala itu, bukan tindakan yang menyimpang.
Dalil Hadits Shahih:
“Rasulullah menikahiku saat aku berumur 6 tahun dan membangun rumah tangga denganku ketika aku berumur 9 tahun.”
(HR. Bukhari no. 3894, HR. Muslim no. 1422)
Di zaman itu, perempuan dianggap dewasa setelah baligh, bukan berdasarkan umur kronologis (seperti 15 tahun di zaman modern). Menstruasi pertama adalah penanda kedewasaan menurut tradisi Arab, Yahudi, Nasrani bahkan Romawi saat itu.
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin…”
(QS An-Nisa: 6)
Artinya kedewasaan diukur dari kesiapan biologis, bukan umur tetap.
Kenyataan:
Aisyah sendiri mencintai Rasulullah dan menjadi istri beliau yang paling cerdas serta meriwayatkan lebih dari 2000 hadits. Ia tidak pernah mengeluhkan pernikahan itu, bahkan menjadi guru besar Islam setelah wafatnya Rasulullah.
Kesimpulan: Tuduhan bahwa Aisyah “tidak sadar secara seksual” adalah asumsi modern yang tidak sesuai konteks sejarah Arab. Pernikahan itu sah secara agama dan sosial saat itu.
- Tuduhan Permusuhan Aisyah dan Ali
Fakta Sejarah:
Perbedaan sikap antara Aisyah dan Ali dalam Perang Jamal adalah karena perbedaan ijtihad politik, bukan karena permusuhan pribadi. Setelah peristiwa itu, Aisyah berhenti dari dunia politik dan tetap menghormati Ali.
Aisyah berkata setelah Perang Jamal:
“Tidaklah aku menyesali sesuatu seperti penyesalanku atas apa yang terjadi antara aku dan Ali.”
(Ibn Sa’ad dalam Tabaqat Kubra)
Dan Ali berkata setelah itu:
“Pergilah bersama saudarimu (Aisyah), dan antar dia kembali ke Madinah dengan hormat.”
(Tarikh At-Thabari)
Kesimpulan: Tuduhan permusuhan abadi antara Aisyah dan Ali adalah propaganda untuk menciptakan kesan konflik internal Islam. Faktanya, mereka berdamai dan saling menghormati.
Penutup:
Tuduhan dalam pernyataan di atas bersumber dari fitnah lama yang telah dibantah secara ilmiah oleh ulama sepanjang zaman. Ia mengulang narasi orientalis dan syi’ah ekstrem yang tidak valid secara sanad maupun dalil.
Firman Allah sebagai pengingat:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya…”
(QS Al-Hujurat: 6)
⸻
Jika kamu ingin, aku juga bisa bantu membuat infografis atau artikel dalam bentuk PDF untuk menjawab hoaks serupa secara lebih visual. Mau aku bantu juga?