“Kewajiban Berhijab dalam Islam Adalah Perintah Langsung dari Allah, Bukan Pilihan Pribadi”

3duniaindigo.com

Pernyataan ini digunakan untuk merelatifkan kewajiban berhijab dan membingkai seolah-olah berhijab adalah pilihan, bukan perintah. Ini perlu diluruskan agar tidak menyesatkan umat.

Dalam Islam, berhijab adalah perintah Allah yang wajib bagi setiap muslimah yang telah baligh. Bukan soal “interpretasi pribadi”, bukan pula soal logika matematika sebagaimana dikatakan dalam kutipan tersebut.

Dalil dari Al-Qur’an:
1. Perintah langsung dari Allah tentang menutup aurat:

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…”
(QS. An-Nur: 31)

Kata “yudhnīna” dalam ayat ini artinya menutup dengan rapat, bukan sekadar memakai penutup kepala.2. Pakaian taqwa bukan pilihan, tapi simbol ketaatan:

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali dan tidak diganggu…”
(QS. Al-Ahzab: 59)

Hadis Nabi Muhammad ﷺ:

“Wahai Asma’, sesungguhnya apabila seorang wanita telah haid (baligh), tidak boleh terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini – sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan.”
(HR. Abu Dawud no. 4104, Hasan)

Ini menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan, dan wajib ditutup di depan non-mahram.

Kesalahan dalam logika kutipan:

Pernyataan seperti “Allah tidak bertanya 5+5= berapa” bersifat retoris dan ambigu.

Dalam Islam, perintah itu jelas, dan kewajiban tidak ditentukan oleh akal manusia, tapi oleh wahyu.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”
(QS. Al-Ahzab: 36)

Jadi?

Menjadi anak dari ulama besar tidak serta-merta menjamin ketaatan. Bahkan, dalam sejarah pun disebutkan anak Nabi Nuh ‘alaihissalam sendiri kafir kepada Allah. Maka kebenaran tidak diukur dari nasab atau popularitas, tapi dari ketaatan kepada wahyu.

Scroll to Top