Proses Pengumpulan Al-Qur’an: Dari Masa Nabi Hingga Standarisasi Utsmani

3duniaindigo.com

Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an: Dari Masa Nabi Hingga Standarisasi Utsmani

Sering muncul pertanyaan: kapan sebenarnya Al-Qur’an dikumpulkan menjadi mushaf seperti sekarang? Apakah di zaman Nabi, Abu Bakar, atau Utsman? Untuk memahami hal tersebut, kita perlu menelusuri prosesnya dari awal secara kronologis.

1) Apakah sebelum Nabi wafat wahyu tidak dikumpulkan?

Sebelum Rasulullah ﷺ wafat, wahyu sudah ditulis dan dijaga, bukan dibiarkan begitu saja. Hanya saja, belum disusun menjadi satu mushaf tunggal yang berbentuk “buku”.

Saat wahyu turun, Nabi ﷺ langsung memerintahkan para sahabat penulis wahyu (kuttābul-wahy) seperti Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ubay bin Ka’b, dan lainnya untuk menuliskannya di media apa pun yang tersedia, seperti:

pelepah kurma, kulit binatang, tulang belikat unta, batu tipis, kulit kayu, dsb.

Selain itu, Nabi ﷺ juga mengajarkan bacaannya, urutan suratnya, dan hafalan kandungannya, sehingga para sahabat banyak yang menghafal Al-Qur’an secara mutqin (kuat).

Jadi, sebelum Nabi wafat, wahyu sudah tercatat dan terkumpul, namun tersebar di berbagai media penulisan, serta tersimpan dalam hafalan para sahabat, belum dijilid dalam satu “buku”.

2) Mengapa mushaf baru dibukukan pada masa Abu Bakar?

Setelah Nabi ﷺ wafat (632 M), terjadi Perang Yamamah (633 M) melawan kelompok Musailamah al-Kazzab. Dalam perang itu, banyak sahabat penghafal Al-Qur’an (hufaz) yang gugur.

Melihat bahaya ini, Umar bin Khattab mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar:

“Jika para penghafal terus gugur, dikhawatirkan Al-Qur’an akan hilang. Maka kumpulkanlah tulisan-tulisan wahyu itu menjadi satu mushaf!”

Awalnya Abu Bakar ragu, karena Nabi ﷺ tidak pernah membuat mushaf tersusun secara resmi, tetapi akhirnya menyetujui demi menjaga kemurnian wahyu.

Tugas pengumpulan ini diberikan kepada Zaid bin Tsabit, yang kemudian mengumpulkan seluruh catatan wahyu dari para sahabat dengan syarat sangat ketat: setiap ayat harus memiliki dua saksi — satu saksi hafalan dan satu saksi tulisan yang disaksikan langsung bahwa ia dicatat di hadapan Nabi.

Hasilnya lahirlah “Mashaf Abu Bakr As-Shiddiq”, mushaf resmi pertama, yang kemudian disimpan oleh Abu Bakar, lalu Umar, dan setelah Umar wafat disimpan oleh Hafshah binti Umar.

3) Mengapa standarisasi baru dilakukan di masa Utsman? Apa maksudnya “standarisasi”?

Pada masa Khalifah Utsman bin Affan (644–656 M), Islam menyebar sangat luas ke wilayah Syam (Suriah), Irak, Mesir, Afrika Utara, Azerbaijan, hingga Armenia. Muncul perbedaan dalam dialek bacaan (qira’at/dialek Arab) di berbagai wilayah sehingga nyaris terjadi perpecahan antar kaum Muslimin, karena masing-masing menganggap bacaannya paling benar.

Contohnya:

Orang Kufah membaca dengan logat/dialek mereka Orang Syam membaca dengan dialek mereka Orang Hijaz dengan cara berbeda lagi

Melihat kerawanan ini, Hudzaifah bin al-Yaman melapor kepada Utsman agar semua kaum Muslim “distandardisasi” mengikuti satu mushaf baku, agar tidak terpecah seperti umat Nasrani dan Yahudi sebelumnya.

Standarisasi artinya:

Menyalin ulang mushaf resmi Abu Bakar yang ada pada Hafshah Menetapkan satu rasm (ejaan tulisan Arab) dengan dialek Quraisy (dialek turunnya wahyu) Menghapus mushaf pribadi lain untuk menghilangkan potensi perbedaan bacaan yang bisa memicu konflik Mengirimkan mushaf standar (Mushaf Utsmani) ke seluruh wilayah dengan qari’ (pengajar Al-Qur’an) resmi

Inilah yang melahirkan Al-Qur’an dengan rasm Utsmani yang digunakan hingga sekarang secara turun-temurun, tanpa perubahan satu huruf pun, karena sumber standarnya berasal dari mushaf Abu Bakar yang disusun dari wahyu Nabi ﷺ.

Scroll to Top